Oleh
Eka Fitriani, S.Pd.
(Ketua Bidang Literasi, Media dan Publikasi PW IGI Sumsel)
Hari Guru Nasional selalu menjadi moment berharga dan paling ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Upacara peringatan, webinar, seminar, talkshow, pelatihan online digelar demi memperingati Hari Guru ini.
Akan tetapi, menurut saya peringatan Hari Guru bukan hanya sekedar selebrasi semata. Ada sesuatu yang mesti lebih diutamakan, yaitu memaknainya.
Ya… kalau sekedar selebrasi, seperti upacara peringatan, potong kue, potong tumpeng, tiup lilin, kasih bunga lalu bilang,
“Selamat Hari Guru yaaaa…!”
Semua orang bisa melakukannya. Lalu, keesokan hari akan menjadi biasa lagi, bukan?
Paling tahun depan lagi bisa mendengar kalimat ucapan tersebut. Tahun depan lagi upacara. Tahun depan lagi dapat bunga. Tahun depan lagi potong kue dan tahun depan lagi…
Lalu, memaknainya kapan?
Bahkan doa untuk diri sendiri untuk menjadi guru yang lebih baik pun belum tentu dilakukan. Apalagi mencoba mengintrospeksi diri sendiri.
Namun paling tidak, yang paling utama adalah guru harus merdeka dan berani berinovasi, berkreasi dalam menjalani profesinya sebagai guru tanpa paksaan, permintaan dan tekanan dari pihak mana pun. Kalau saya bilangnya bergerak saja menurut hati nurani. Memilih sesuatu menurut hati nurani dan niat yang baik insyallah hasilnya akan baik meskipun belum akan nampak hasilnya sekarang.
Seperti pagi tadi, saya merasa tersanjung sekali melihat anak-anak kelas 7C membuat surprise party di kelas. Nak, sebenarnya diberi ucapan saja tanpa diberi surprise begini saja sudah sangat senang sekali karena jujur saja ada rasa malu saat menerima selebrasi ini dari anak-anak. Saya merasa belum mampu menjadi guru yang baik. Namun mereka bisa ingat Hari Guru ini. Terima kasih.
Selamat Hari Guru Nasional
Bergerak dengan hati.
Pulihkan Pendidikan.